“Ada misteri mengerikan yang tersembunyi dibalik tanah yang terkutuk ini. Sebuah misteri yang membuat mereka yang tak kasat mata menetap dan tinggal di tanah yang sama dengan kami.”
Saat itu seluruh warga kampung yang menonton di pos ronda riuh merayakan kemenangan Brazil di Piala Dunia tersebut. “Mukti, pulang sekarang ya!” Ibu menghampiriku dari rumah dan berteriak memintaku untuk pulang. “Iya Bu!” aku balas menjawabnya. “Biarin aja dulu Lastri, seneng-seneng sebentar kan nggak ada salahnya. Paling Mukti jadi bisa ngelupain kejadian minggu lalu,” Ucap Pak Rohmat salah satu warga di kampung ini. “Iya pak.. temen-temen! Pamit dulu ya!” Teriakku. “Ya, kalo sempet mampir!” Balas mereka singkat. Akupun meninggalkan pos ronda dan pulang ke rumah kami yang terletak di pinggir kali Cibubur.
Rumah ini sudah kami tempati semenjak aku belum lahir hingga akhirnya aku lulus SMP. Sebuah rumah ala kadarnya yang Bapak bangun di bantaran kali yang sangat besar ini. “Kita bener harus pindah Bu?” Tanyaku. “Ia nak, ibu kan udah cerita. Setelah Bapak meninggal kemarin, banyak penagih hutang yang terus datang ke rumah. Bahkan sampai ngancam mau nyelakain kamu dan Gendis adikmu..” Jawab ibu. Bapak meninggal dua minggu yang lalu. Setelahnya, kami kaget ada banyak penagih utang yang menagih ke rumah. Mereka bilang bapak berhutang pada mereka. Tak hanya satu, tapi banyak. Jujur kami tidak pernah tahu kalau bapak berhutang. Tapi Ibu sempat curiga setelah seorang temanya mengatakan sedang marak modus preman menagih utang pada anggota keluarga yang telah meninggal. Padahal belum tentu mereka berhutang.
Tapi satu orang perempuan dan dua anak kecil yang miskin bisa berbuat apa melawan mereka. “Terus kita kemana Bu?” “Kita tingal di Jawa.. ada rumah peninggalan eyangmu di sana. Tidak ada yang akan mengusik kita selama kita di sana,” ucap Ibu. Ibu menceritakan tentang sebuah rumah di desa tempat kelahiranya. Dulu eyang memiliki banyak tanah dan kebun, namun semua sudah dijual dan diwariskan ke anak-anaknya termasuk ibu. Tapi ada satu rumah yang tidak pernah laku dijual. Saudara-saudara ibu pun tidak ada yang mau menempati karena rumah itu cukup berjarak dari desa, dan tidak jauh berbatasan dengan hutan. “Beruntung ada yang mau mebeli rumah ini, uangnya bisa kita pakai untuk renovasi dan modal hidup disana,” tambah ibu. “Iya bu, padahal cuma rumah begini saja ya?” Balasku.
Rumah kami memang bangunan liar di bantaran kali. Tapi bapak dan ibu sudah membangunya setengah tembok hingga cukup kokoh. Hampir semua rumah di kampung ini tidak berijin, namun kami semua merasa aman karena ada yang sudah tinggal di tempat ini lebih dari dua puluh tahun dengan tenang. Sebuah angkutan umum sudah datang sejak tadi pagi. Ini adalah angkutan yang akan kami gunakan untuk pindah ke Jawa. Kami tidak membawa banyak barang. Sebagian perabotan sudah dijual dan sisanya diberikan ke pemilik rumah yang baru. Hanya sedikit yang kami bawa menggunakan angkutan umum bercat biru itu yang akan mengantar kami ke rumah baru kami. “Sudah masuk semua?” Tanya Bang Jaki, supir yang akan mengantar kami. “Sudah Bang Jaki, tinggal orangnya. Kata ibu ngopi dulu aja, ada gorengan juga,” Balasku. Bang Jakipun masuk ke rumah sembari menikmati kopi dan gorengan yang dibuatkan oleh ibu. Sementara itu ibu memeriksa kembali barang-barang yang sudah masuk ke mobil. “Mukti!” sebelum menyusul ke rumah tiba-tiba seorang temanku memanggil dari jauh.
“Andri?” Tanyaku sembari menghampirinya. “Ini, kamu bawa ya,” ucap Andri. Ada sebuah ukiran kayu berbentuk ular yang ia berikan padaku. “Apaan nih?” “Bawa aja, aku dapet mimpi nggak enak semalem,” ucapnya. Andri menceritakan bahwa ia melihat aku dan keluargaku diincar sesuatu yang jahat. Ia memang dianggap anak yang cukup aneh di kampung, warga sudah menganggap ocehanya sebagai bualan belaka. Tapi sepertinya ia beniat baik, jadi tidak mungkin aku meledeknya. “Oke, makasi Ndri,” balasku. “Hati-hati ya, sama jagain adikmu Gendis,” ucapnya sembari berlari meninggalkanku. Aku menerima benda itu dan menyimpanya di dalam tas pakaianku.
“Bu, masih jauh?” Tanya Gendis yang sudah merasa tidak nyaman di perjalanan. “Masih setengah perjalanan lagi nak, tidur lagi aja,” jawab ibu. Ini memang pertama kalinya Gendis melalui perjalanan sejauh ini. sebenarnya aku khawatir akan sekolahnya di desa, seharusnya sebentar lagi ia sudah masuk SD. Tapi aku hanya bisa percaya pada pertimbangan ibu.
Menjelang maghrib, kamipun sampai di rumah yang akan kami tinggali. Sebuah rumah yang cukup berjarak dari rumah lain di desa. Ini rumah yang cukup besar. Semua dindingnya terbuat dari kayu yang sepertinya sudah sangat berumur. Ada sebuah pohon besar di depan rumah, namun pohon itu sudah kering dan tidak lagi berdaun. Saat mobil bang Jaki terparkir di depan rumah. Ada seseorang yang segera menghampiri kami. Seorang pria kurus yang sedikit lebih tua dari ibu. “Pak Ngadimin?” Sambut ibu. “Lastri, gimana perjalananya?” “Lumayan pak, pas lagi panas-panasnya,” Jawab Ibu. “Rumahnya sudah saya bersihkan, Tapi ya seadanya. Lebih baik malam ini istirahat di rumah saya saja besok baru beres-beres,” Ucap Pak Ngadimin.
“Halah Pak, saya sudah ngerepotin minta dibersihkan malah ngerepotin nginep lagi,” Balas Ibu. Ibu menolak untuk mampir ke rumah Pak Ngadimin dan memilih untuk terus menurunkan barang-barang di mobil. Bang Jaki dan Pak Ngadiminpun membantu kami sementara ibu menyalakan lampu teplok yang sudah tersedia di tembok rumah. “Belum ada listrik bu?” Tanyaku. “Sudah.. tapi masih harus lapor PLN dulu biar dipasang lagi. Paling seminggu sudah nyala,” balas ibu. Bang Jaki yang sedari tadi menurunkan barang terlihat cukup aneh. Sesekali ia berhenti melangkah dan menelan ludah. “Bang Jaki nginep dulu aja, pagi baru pulang. Ada kamar kosong kok,” ucap Ibu.
“Eh, nggak.. nggak, saya langsung saja habis ini. Mau mampir dulu,” ucapnya dengan canggung. Ia terlihat begitu waspada dengan rumah ini. “Mbak Lastri benar yakin mau tinggal di sini?” Tanya Bang Jaki. “Iya lah mas, sekarang cuma rumah ini yang bisa kami tinggali,” balas Ibu. Setelah membantu kami, Bang Jaki segera pamit. Padahal hari sudah larut malam. Pak Ngadiminpun mengantarkan kami makanan kecil dan minuman panas untuk kami dan buru-buru meninggalkan kami.
BERSAMBUNG.....